Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kapitalis Rakus, Corona Dan Dampak Sosialnya

Picture ilustrasi
KABARPATROLI.ID - Ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tidak terbatas dalam lingkungan yang terbatas. Teori ini berangkat dari pandangan mustahilnya kapitalis memperluas produksi dan konsumsi rakus karena dunia telah berada di ambang batas daya dukungnya. Namun, apa yang terjadi saat ini, baik di negara kapitalis utama maupun kapitalis pinggiran seperti Indonesia, pertumbuhan wajib digenjot dan eksploitasi sumber daya terus ditingkatkan.

Mitos pertumbuhan diabaikan, seolah-olah dunia masih penuh dengan sumber daya. Kapitalis yang memuja produksi dan konsumsi tanpa batas (bukan berdasarkan kebutuhan) dan akumulasi kapital sebesar-besarnya merupakan sumber masalah pada lingkungan dan manusia. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2018) menyampaikan kembali bahwa salah satu ancaman terbesar bagi manusia saat ini adalah virus-virus baru yang tak diketahui dari mana asalnya. Saat ini hewan tak hanya berinteraksi dengan manusia, tapi juga berebut ruang dengan manusia. Alokasi modal alam yang seharusnya untuk satwa liar terserap habis untuk ekonomi manusia (Zcech dan Daly, 2017).

Pandemi virus Corona yang saat ini menjadi fenomenal global menyerang hampir semua negara di belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Memulai karirnya dari kota Wuhan, China. Kita ketahui sendiri bagaimana Chovid – 19 ini memporak pogandakan kehidupan Negeri Tirai Bambu. Penyebarannya sangat cepat dan lintas benua sehingga sangat meresahkan, media penularannya hewan dan manusia.

Pada Januari 2020 lalu, dunia digemparkan dengan temuan kasus wabah virus corona yang diduga sumber asalnya dari Kota Wuhan, Cina. Tak hanya kehidupan sosial-ekonomi negara Cina yang berimbas atas wabah virus corona ini, negara-negara lain pun ikut terkena imbasnya.

Indonesia, salah satunya. Tak terkecuali kota Prabumulih. Saat pertama sekali mengetahui bahwa ada salah satu warga kota Prabumulih terjangkit virus Corona, hal ini sangat mempengaruhi kondisi psikologis dan sosiologis masyarakat kota Prabumulih, khususnya mereka yang tinggal disekitar rumah korban.

Anne Kerr dalam bukunya yang berjudul  “Genetics and Society: A Sociology of Disease” menjelaskan bahwa fenomena wabah penyakit di masyarakat dapat membuat masyarakat mengalami kecemasan (anxiety) dan ketakutan (fear). Begitu juga wabah Corona yang sudah sampai di kota Prabumulih, masyarakat merasakan ketakutan dan kecemasan yang luar biasa. Sebenarnya rasa cemas dan takut yang ada di masyarakat kota Prabumulih sesuatu yang manusiawi, tetapi jika hal ini tidak diatasi secara sosiologis akan menimbulkan disorganisasi dan disfungsi sosial di masyarakat.

Disorganisasi pada masyarakat akan mengarah pada situasi sosial yang tidak menentu. Sehingga dapat berdampak pada tatanan sosial di masyarakat. Wujud nyatanya berupa prasangka dan diskriminasi. Hal ini bisa dilihat dari reaksi masyarakat kota Prabumulih saat mengetahui ada warga Prabumulih positif terjangkit virus corona.

Misalnya, ada masyarakat yang mulai membatasi kontak sosialnya untuk dan menghindari berinteraksi diruang sosial tertentu (seperti pasar dan mall) karena khawatir tertular virus corona. Berawal dari prasangka, akhirnya dapat muncul sikap diskriminasi. Sikap diskriminasi yang paling nyata terjadi berupa kekerasan simbolik. Misal, saat Ani berada di rumah makan dan melihat Shela batuk di dekatnya, Ani pun menjauh karena khawatir Shela terjangkit corona. Padahal Shela hanya mengalami flu biasa.

Disfungsi sosial juga terjadi akibat rasa takut atas wabah virus corona. Disfungsi sosial membuat seseorang atau masyarakat tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya sesuai dengan status sosialnya. Hal yang paling nyata bisa kita lihat dibeberapa pemberitaan media atas reaksi para tenaga kesehatan yang mulai mengalami rasa takut akan terjangkit virus corona saat mereka memberikan pelayanan perawatan (caring) maupun pengobatan (curing) pada pasien yang diduga bahkan terjangkit virus corona. Rasa takut ini membuat para tenaga kesehatan tidak maksimal menjalankan fungsi sosialnya.

Terjadinya disorganisasi dan disfungsi sosial akan memicu efek bola salju (snowball effect) pada sektor kehidupan lainnya. Efek paling nyata adalah bidang ekonomi. Dampak dari disorganisasi dan disfungsi sosial karena wabah virus corona, membuat individu atau kelompok masyarakat mengalami penurunan produktivitas kegiatan ekonominya. Mulai dari kegiatan produksi, hingga kegiatan konsumtif. Terlebih lagi kebijakan pemerintah agar warganya melakukan aktifitas dari rumah, baik itu bekerja maupun belajar. Adanya larangan untuk berkumpul, mengurangi interaksi sosial dan menjaga jarak sosial. Sebagai strategi untuk memutus penyebaran virus Corona.

Wabah virus corona kini menjadi realitas sosial yang harus dihadapi masyarakat dunia, khususnya kota Prabumulih. Dampak wabah virus corona ini menciptakan kematian, penyakit, ketidaknyamanan, ketidakpuasan, dan kemelaratan. Oleh karena itulah untuk menanggulangi wabah virus corona tidak hanya dilakukan dengan intervensi dibidang kesehatan saja, tetapi harus dilakukan secara terpadu (lintas sektoral).Pengobatan dan perawatan pada pasien yang diduga dan terjangkit virus corona dilakukan dengan serius.

Namun tidak hanya pengobatan dan perawatan saja yang harus dilakukan. Proses intervensi sosial juga perlu dilakukan. Hal ini sebagai upaya penanganan secara lintas sektoral. Intervensi sosial dilakukan sebagai upaya mengantisipasi kondisi masyarakat yang disorganisasi dan disfungsi sosial. Dengan adanya intervensi sosial, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sosial atau mencegah masyarakat mengalami disfungsi akibat fenomena virus corona.

Intervensi sosial yang dapat dilakukan oleh negara, antara lain: memberikan pelayanan sosial, pelayanan fisik, pelayanan psikososial, pelayanan ketrampilan dalam mencegah agar tidak terjangkit virus corona atau ketrampilan hidup sehat, pelayanan spiritual, pelayanan pendampingan, pelayanan advokasi, dan pelayanan edukasi atas informasi seputar virus corona.

Intervensi sosial ini juga harus dilakukan oleh tenaga yang ahli dibidangnya, jangan hanya sebatas memenuhi proyek kemudian menggunakan tenaga yang bukan ahli dibidangnya. Intervensi sosial ini juga dapat dilakukan dengan level sasaran berupa individu, keluarga, kelompok sosial tertentu, atau komunitas.
Tentu, berbagai upaya harus dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi warganya.

Jangan sampai kepentingan politik melampaui kepentingan warganya yang kini sedang dihadapkan wabah penyakit global yang serius. Juga jangan sampai wabah penyakit global ini menjadi bancakan proyek bisnis bagi oknum tertentu.(*)

OPINI : Maretta Jefry Riswanto, S.sos, M.si